Uraian
DNA H5N1 asal Indonesia disimpan di Los Alamos National Laboratory New
Mexico AS. Laboratorium yang dikontrol Kementerian Energi AS ini dulu
digunakan untuk merancang bom atom Hiroshima. Lantas, virus ini untuk
vaksin atau senjata kimia?
Mantan
Menteri Kesehatan RI Siti Fadilah Supari dalam bukunya yang berisi
pengalaman langsung selama menangani penyakit pandemik ini terbit dalam
dua bahasa, Inggris dan Indonesia. Judulnya, “It’s Time for the World to
Change, Divine Hand Behind Avian Influenza.” Dalam edisi Indonesia
berjudul “Saatnya Dunia Berubah. Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung.”
Buku
bersampul merah–yang edisi bahasa Inggris–ini beredar luas di AS dan
Eropa. Saat itu AS dan sekutunya langsung berang. Pasalnya, sang menteri
membeberkan keberhasilannya menumbangkan ketidaktransparanan WHO dalam
mekanisme virus sharing H5N1. Selama 50 tahun terakhir, mekanismenya
harus melalui Global Influenza Surveilance Network (GISN) bentukan AS
yang tidak ada dalam struktur resmi WHO.
Cardiyan
HIS, editor buku ini menuturkan kronologisnya. Perlawanan sang menteri
dimulai ketika flu burung mulai menelan korban pada 2005. Saat itu,
menkes ”marah” karena kematian tujuh orang warga Tanah Karo, Sumatera
Utara, langsung diumumkan oleh WHO melalui CNN sebagai kasus flu burung
human to human. Padahal, tidak didahului dengan penelitian DNA korban.
Hipotesa menkes saat itu, kasusnya masih animal to animal. ”Ternyata
hipotesa ini terbukti benar sampai sekarang,” jelasnya.
Meski begitu, menteri kelahiran Solo, 6 November 1950 ini tetap kelabakan. Tamiflu,
satu-satunya obat yang dipercaya bisa mengobati flu burung, harus
tersedia. Tapi obat ini justru diborong negara-negara kaya yang tak
terkena flu burung. ”Ini tidak adil, negara-negara lemah yang terkena
tidak memperoleh apa-apa. Untung saja ada bantuan dari India, Thailand
dan Australia,” ujar Menkes kala itu.
Korban
terus berjatuhan. Pada saat bersamaan, dengan alasan penentuan
diagnosis, Badan Kesehatan Dunia (WHO) melalui WHO Collaborating Center
(WHO–CC) di Hong Kong memerintahkan Indonesia menyerahkan sampel
spesimen H5N1. Perintah itu diikuti menkes. Tapi, ia juga meminta
Laboratorium Litbangkes melakukan penelitian. Hasilnya ternyata sama.
Lalu, mengapa WHO–CC meminta sampelnya dikirim ke Hong Kong?
Dalam
buku versi bahasa Inggris, menkes menulis, ia terbayang pada korban flu
burung di Vietnam. Sampel virus orang Vietnam itu diambil dan dikirim
ke WHO CC untuk dilakukan risk assessment, diagnosis dan dibuat seed
virus. Dari seed virus ini dibuat vaksin. Ironisnya, pembuat vaksin
adalah perusahaan-perusahaan besar dari negara kaya yang tak terkena flu
burung. Mereka mengambil dari negara korban dan menjualnya ke seluruh
dunia tanpa izin, tanpa kompensasi.
Siti
Fadilah pun ”marah”. Ia merasa kedaulatan, hak dan martabat
negara-negara berkembang dipermainkan GISN WHO. Badan yang sangat
berkuasa ini telah menjalani praktik selama 50 tahun. Badan ini telah
memerintahkan lebih dari 110 negara untuk mengirim spesimen virus
flu-nya tanpa bisa menolak. Virus menjadi milik mereka dan mereka berhak
memprosesnya menjadi vaksin.
Menurut
Cardiyan HIS, menkes yang juga ahli spesialis jantung dan pembuluh
darah ini cukup cerdik. Meski terpaksa mengirim sample virus ke WHO,
pada saat yang sama ia juga mengirim ke Gene Bank, agar hasilnya bisa
diakses oleh ilmuwan di seluruh dunia. Tidak seperti GISN WHO yang hanya
dihuni 15 ilmuwan eksklusif, empat orang dari WHO dan selebihnya tak
dikenal. Ilmuwan dunia menyambut baik keberanian Indonesia. Ini dianggap
sebagai revolusi besar.
Saat
menkes ragu pada WHO, The Straits Times Singapura (27 Mei 2006)
melaporkan, para ilmuwan tidak dapat mengakses data sequencing DNA H5N1
di WHO-CC. Belakangan diketahui, data ini justru disimpan di Los Alamos
National Laboratoty di New Mexico, AS di bawah kontrol Kementerian
Energi AS. Meski pemerintah AS membantahnya, tapi situs resmi Los Alamos
terang-terangan mengakui menyimpan uraian DNA H5N1 asal Indonesia.
Di
laboraturium inilah dulu dirancang bom atom Hiroshima. Lantas, virus
ini untuk vaksin atau senjata kimia? Siti Fadilah pun tak tinggal diam.
Ia minta WHO membuka data itu. Ia berusaha keras agar mekanisme virus
sharing diubah menjadi transparan. Hasilnya, pada 8 Agustus 2006, WHO
mengirim data itu. Tak berhenti di situ, menkes terus mengejar WHO-CC
agar mengembalikan 58 virus asal Indonesia.
Asro
Kamal Rokan dalam artikelnya di Republika menulis, 58 virus asal
Indonesia konon sudah ditempatkan di Bio Health Security, Lembaga
Penelitian Senjata Biologi Pentagon. Meski harus berhadapan dengan
adidaya, menkes terus melawan. Ia tak lagi bersedia mengirim spesimen
virus yang diminta WHO, selama mekanismenya imperialistik, kapitalistik
dan mengancam umat manusia.
Perlawanan
menkes tak sia-sia. Meski Siti Fadilah dikecam WHO dan dianggap
menghambat penelitian, tapi akhirnya dalam sidang Pertemuan Kesehatan
Sedunia di Jenewa, 20 November 2007, International Government Meeting
(IGM) WHO, menyetujui mekanisme virus sharing dan membubarkan GISN.
Kini
Indonesia ditunjuk oleh World Health Assembly Meeting (forum tertinggi
menteri-menteri kesehatan seluruh dunia), untuk membuat konsep virus
sharing. Selain melakukan deal dengan Baxter Inc (perusahaan farmasi AS)
Indonesia juga akan bekerjasama dengan banyak perusahaan termasuk dari
dalam negeri seperti, Lembaga Eijkman dan PT Biofarma Tbk yang sudah
mampu membuat vaksin.
Tapi,
upaya AS dan sekutunya untuk membungkam buku ini tak pernah surut.
Meski sudah sebulan berlalu, melalui jalur diplomatik di dalam dan luar
negeri, AS terus menekan pejabat-pejabat Indonesia agar menarik buku
edisi bahasa Inggris yang beredar luas di AS dan Eropa itu. Beberapa
komprador AS di dalam negeri juga terus beraksi, agar buku yang
memalukan tuannya ini ditarik. Tapi, Menkes bergeming.
Ia
tak gentar menghadapi reaksi keras kaum kapitalis ini. Ia bertekad
mempertahankan buku itu agar tetap beredar, apa pun risikonya. “Saya tak
akan pernah tarik buku itu dari peredaran. Bahkan, menkes justru akan
mencetak ulang dan menerbitkan jilid keduanya. “Selain cetak ulang, saya
juga akan segera menerbitkan jilid dua buku ini,” paparnya.
Beberapa
pihak juga medukung agar menkes tidak menarik dan merevisi bukunya itu.
Dukungan antara lain datang dari Ketua Umum PP Muhhamadiyah Dien
Syamsuddin, Ketua Umum PP Nahtlatul Ulama Hasyim Muzadi dan mantan Ketua
PP Muhammadiyah Syafiie Ma’arif, ”Siapapun tidak punya hak untuk
melarang peredaran buku ini, kecuali buku ini mengganggu ketertiban,”
tegas Pimpinan Pondok Pesantren Tebu Ireng Sholahuddin Wahid.
Bahkan,
Kepala Badan Intelejen Negera (BIN) Syamsir Siregar, setelah memanggil
dan mendengar penjelasan Siti Fadilah juga menyatakan dukungannya.
”Setelah saya jelaskan, BIN bisa menerima bahkan memberi dukungan,”
tandas menkes. Demikian juga dengan Menteri Pertahanan dan Keamanan
Juwono Sudarsono yang melihat menkes telah memenangkan pertempuran
diplomasi internasional.
Sebagai peneliti yang telah lama malang melintang di dunia kesehatan, Siti Fadilah tahu betul, virus bisa dilemahkan, bisa dijadikan vaksin atau dikuatkan menjadi senjata biologi.
Data
uraian virus tidak mungkin didapat tanpa meneliti virus. Dengan data
yang lengkap maka virus dapat direkayasa menjadi senjata biologis. Tidak
masuk akal jika laboratorium yang pernah menciptakan bom atom Hirosima,
hingga antrax, hanya menyimpan data sequensing, tanpa virusnya.
Indonesia
sendiri pernah kecolongan pada kasus virus small pox (cacar). Pada
1974, Indonesia dinyatakan bebas cacar oleh WHO. Karenanya, tahun 1984
WHO datang ke Indonesia untuk memusnahkan virus cacar sekaligus
laboratoriumnya di Biofarma Bandung. Sejak saat itu Indonesia tidak lagi
memiliki virus cacar. Tiba-tiba pada 2003, WHO mengumumkan adanya
senjata biologis dari virus cacar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar